Sabtu, 30 April 2016

Cerita Para Wali

Mbah Fanani di dalam bilik
Jalan berliku dan curam ditambah dengan dinginnya udara tidak menyurutkan laju kuda besiku untuk mencapai dataran tinggi Dieng yang konon merupakan salah satu dataran tinggi terluas di Indonesia dengan ketinggian 2093 M DPL.
Dengan suhu bisa mencapai 0 derajat celcius pada pagi hari (musim kemarau) di bulan juli dan agustus. (sumber wikipedia)
Semua berawal dari informasi yang aku dapat dari dunia maya juga beberapa kawan mengatakan hal yang senada, hingga akhirnya ingin membuktikan sendiri keberadaan sosok misterius yang menjadi perbincangan banyak orang tersebut.
Mbah Fanani demikian orang-orang menyebutnya, keberadaan Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng cukup menarik untuk ditelisik. Siapa sebetulnya beliau? Dan apa maksud serta tujuan Mbah Fanani bertapa? atau lebih tepatnya menurutku menyendiri selama 26 tahun lamanya ditepi jalan di dataran tinggi dieng di rt 1/rw 1 Desa Dieng Kulon depan Musala Al-Amin jalan menuju komplek Candi Dieng, dari Musala kurang lebih berjarak 25 meter. Dengan hanya menempati bilik kecil berukuran kurang lebih 1,5x1 meter berdinding dan beratapkan terpal berwarna biru
Disaat orang kebanyakan berlomba-lomba mengejar gemerlapnya isi dunia justru sebaliknya sosok Mbah Fanani menepi seorang diri menjauh dari itu semua cukup di bilik kecil dengan hanya berkain sarung saja.
H. Zainudin adalah orang pertama yang aku coba tanya, tak banyak yang aku dapatkan informasi dari lelaki sepuh ini. Beliau terkesan tertutup dan nampak hati-hati sekali dalam berkata. Meski demikian beliau memberikan penjelasan sebelum Mbah Fanani menempati bilik itu sambil tangannya menunjuk kearah yang dimaksudkan dari dalam musala.
Dahulu Mbah Fanani sebelum di Desa Dieng Kulon ini, bertapa di Desa Sitieng menempati sebuah goa kecil ditepi jalan hingga beberapa tahun lamanya, kemudian tanpa diketahui sebabnya beliau berpindah ke Desa Wadas Putih yang masih satu arah jalan menuju komplek Candi Dieng, lantas berpindah lagi di Desa Patak Banteng dan di Desa Dieng Kulon ini paling lama, yaitu kurang lebih 17 tahun lamanya kata beliau.
Lain halnya dengan penuturan Pak Mujiono lelaki tengah baya yang memiliki usaha toko persis diseberang jalan Musala Al-Amin. Beliau mengatakan terkadang banyak orang-orang dari luar kota berdatangan antara lain dari Batang, Pekalongan, Purwokerto, Jepara serta kota lainya hingga dari luar Jawa mengunjungi tempat pertapaan Mbah Fanani katanya. Masih menurut penuturan Pak Mujiono, bahkan sering terlihat mereka yang datang ternyata diketahui para santri dari luar kota kemudian membersihkan tempat sekitar pertapaan Mbah Fanani.
Rumah Pak Mujiono bisa terbilang sangat dekat dengan pertapaan Mbah Fanani, namun selama belasan tahun lamanya beliau menuturkan tidak pernah sekalipun melihat Mbah Fanani keluar dari bilik kecil tersebut. Ketika aku tanyakan maksud dan tujuan Mbah Fanani laku tapa, beliau menjawab tidak tahu. Beliau justru menyuruhku bertanya ke sebuah rumah yang persis berada di belakang tempat Mbah Fanani bertapa.
Rasa penasaran membuatku mendatangi rumah yang persis dibelakang bilik Mbah Fanani, saat melewati depan bilik yang tertutup rapat itu sempat aku lirik ada piring dalam keadaan kosong tergeletak dibibir bilik, selebihnya hanya gelap yang terlihat meski sore itu cukup cerah cuacanya.
Di teras ternyata terlihat berkumpul ibu-ibu yang sedang mengobrol, mereka sepertinya bersikap biasa saja dan tidak ada sesuatu yang aneh meski jarak antara tempat mereka duduk-duduk ke bilik Mbah Fanani tak lebih dari 5 meter jaraknya. Akhirnya satu diantara mereka aku ketahui bernama Ibu Sugiono pemilik rumah. Tak banyak pula yang aku dapat keterangan dari Ibu Sugiono baik maksud dan tujuan Mbah Fanani memilih bertapa di depan rumahnya tersebut.
Yang pasti selain para pengunjung luar kota juga yang kebetulan melintas kemudian memberikan makan dan air mineral di bilik, dalam kesehariannya Pak Sugiono dan keluarga yang menyediakan makanan. Tapi anehnya meski mereka yang paling dekat secara fisik dengan Mbah Fanani juga belum pernah melihat sosok Mbah Fanani keluar dari bilik selama ini.
Padahal dari penuturan Ibu Sugiono keluarganya juga menyediakan/membuatkan khusus kamar kecil tapi hingga saat ini belum pernah digunakan sama sekali. Kesan hati-hati dalam memberikan informasi begitu terasa dari orang-orang sekitar Mbah Fanani bertapa, akhirnya aku putuskan mencari informasi yang cukup jauh jaraknya namun masih diseputar Dataran Tinggi Dieng.
Dari kabar yang berhembus luas dari penduduk setempat, sosok lelaki misterius yang disebut Mbah Fanani ini memiliki pandangan khusus mengenai dataran tinggi dieng. Sebagaimana tertera dalam ramalan Jayabaya disebutkan wilayah Kedulangmas (Wil. Kedu, Magelang & Banyumas) nantinya akan ditutupi banjir bandang yang besar.
Oleh karena itu Mbah Fanani memiliki kayakinan dia tidak akan pulang ke tanah kelahirannya sebelum hal tersebut terjadi di daerah yang dimaksudkan.
"Disini penulis jadi ingat sepanjang jalan dari arah Wonosobo baik bukit maupun gunung seputar dataran tinggi dieng hampir tidak menemukan hutan atau pohon besar kecuali tanah gunung dan perbukitan yang sudah berubah fungsi menjadi lahan tanaman kentang dan sebagainya".
Masih menurut cerita seputar Mbah Fanani dari penduduk setempat. Pernah suatu hari keluarga Mbah Fanani yang konon dari Kuningan Jawa Barat datang bermaksud menjemput dan kemudian mengangkat tubuh Mbah Fanani dari dalam bilik kedalam mobil namun anehnya ketika mobil hendak distater tidak bisa hidup. Atau dengan kata lain Mbah Fanani mengisyaratkan tidak ingin pulang terlebih dahulu.
Ada lagi cerita yang berhembus suatu hari pernah dikawasan jalan Desa Dieng Kulon dan Wetan yang masuk wilayah wonosobo terendam banjir bandang namun anehnya air yang mengalir seperti menjauh dari tempat pertapaan Mbah Fanani. Di luar nalar memang namun demikianlah cerita dari penduduk setempat yang dekat dengan tempat pertapaan Mbah Fanani. Dan masih banyak lagi cerita-cerita mistis seputar sosok misterius Mbah Fanani yang berkembang di masyarakat.
Yang pasti hanya Tuhan dan Mbah Fanani sendiri yang mengetahui maksud dan tujuan yang tersirat dari beliau melakukan tapa di dataran tinggi dieng.

SEJARAH SINGKAT BENDA KEREP BAB I


PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat, tradisional yang hidup disuatu lokasi secara turun temurun dan relatif setia menjalankan adat istiadat memiliki pengetahuan praktis dalam rangka bertahan hidup dialam lingkungannya. Pengetahuan tersebut meliputi keseluruhan aspek kehidupan seperti pertanian, peternakan, penyediaan makanan, kesehatan, dan bagaimana mengelola lingkungan hidup mereka.
Pengetahuan tersebut sangat penting bagi kelangsungan kehidupan mereka dan merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang khas.
Dengan berjalannya waktu, pengetahuan atau kearifan tradisional dibenda kerep pada khususnya sering kali terdesak dan dikesampingkan, terutama apabila masyarakat tradisional benda kerep tersebut hidup didalam suatu negara yang mengalami proses pembangunan. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya pendekatan pembangunan yang dilakukan bersifat “top down” ataupun bertolak dari pandangan “luar komunitas” dengan metode yang dianggap lebih ilmiah dan modern. Sedangkan kearifan tradisional dianggap kurang memenuhi tuntutan kemajuan zaman.
1.2. Rumusan Masalah
1. bagaimana sejarah berdirinya benda kerep
2. apa yang menjadi alasan masyarakat benda kerep menolak adanya tv, radio dan jembatan.
3. apa yang menjadi ketertarikan para santri luar terhadap pesantren benda kerep
4. mengapa daerah benda kulon sudah menerima adanya teknologi informasi.
5. bagaimana denah lokasi benda kerep dari letak wilayah dan letak daerah.
1.3. Tujuan
Agar dapat mengetahui seluk beluk yang berkaitan dengan benda kerep dari mulai sejarah nya alasan logis menolaknya teknologi, ketertarikan santri luar terhadap pesantren benda kerep, alasan logis dari benda kulon yang sudah menerima teknologi dan denah lokasi benda kerep sebagai bahan kajian teoritis wawasan keilmuan.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
Sejumlah besar kenyataan yang relevan dengan suatu teori harus ditentukan dengan observasi pada variasi keadaan yang luas, dan harus dibuktikan seberapa jauh teori itu bias dikatakan benar atau boleh-jadi benar dari segi fakta-fakta yang ditarik lewat semacam penyimpulan induktif.
Pemisahan cara penemuan dan cara pembenaran, memungkinkan kaum induktivis menghindari kritik yang diarahkan pada klaim mereka bahwa ilmu bertolak lewat observasi. Akan tetapi, legitimasi pemisahan dua cara itu harus dipertanyakan. Hal ini diharapkan menjadi makin jelas bahwa esensial untuk mengerti bahwa ilmu adalah lembaga perkembangan historis pengetahuan dan suatu teori hanya dapat dinilai berharga apabila perhatian secukupnya diberikan pada kontex sejarahnya. Penilaian teori erat hubungannya dengan keadaan ketika teori itu pertama kali muncul.
Walaupun apabila kita perkenankan kaum induktivis memisahkan cara penemuan dari cara pembenaran, posisi mereka tetap terancam oleh kenyataan bahwa keterangan- observasi itu bermuatan teori, dan oleh karenanya bisa salah. Kaum induktivis ingin membuat pembedaan sangat tajam antara observasi langsung, yang mereka harapkan akan membentuk dasar yang kukuh untuk pengetahuan ilmiah, dan teori-teori yang akan dibenarkan dengan sejumlah dukungan induktif yang diterimanya dari dasar observasi yang terjamin.
Persoalan induksi tidak dapat dipandang sebagai kesalahan yang pasti, karena sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, kebanyakan filsafat ilmu lainnya pun menderita kesulitan-kesulitan serupa. • Alasan terutama mengapa induktivisme harus ditinggalkan ialah bahwa dibandingkan dengan pendekatan rivalnya yang lebih modern, induktivisme makin gagal memberikan keterangan baru dan yang menarik tentang watak ilmu, suatu kenyataan yang telah mendorong Imre Lakatos untuk menyebut program itu sebagai program yang membawa kemunduran.
BAB III
ANALISIS
3.1. Sejarah Benda Kerep
Berbicara tentang sejarah Benda Kerep maka tidak akan terlepas dengan sejarah-sejarah mistis yang meliputinya. Kampung Benda Kerep didirikan oleh Embah Soleh kira – kira kurang lebih 300 tahun yang lalu. Embah soleh berasal dari keturunan Keraton Kanoman yakni keturunan ke 13 dari Syek Sarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon. Namun ada persepsi lain yang mengatakan Embah Soleh adalah keturunan ke 12 dan keturunan ke 9.
Sebelum menjadi kampung Benda Kerep wilayah ini dinamakan Cimeuweuh yang berasal dari bahasa sunda cai meuweuh yang mengandung terminologi ketika ada orang yang masuk ke wilayah Cimeuweuh maka orang tersebut hilang entah kemana tetapi menurut keyakinan masyarakat sekitar kemungkinan besar orang yang masuk kewilayah tersebut dibawa ke alam ghaib oleh sekelompok mahkluk ghaib penghuni wilayah Cimeuweuh. Kejadian yang lebih mencengangkan pohon – pohon rindang yang berada didalam wilayah Cimeuweuh mengandung unsur mistis yang luar biasa diluar jangkauan rasio dan ilmu pengetahuan fisika, yakni ketika pohon tersebut di tebas atau ditebang pohon itu akan mengeluarkan darah dan menjerit layaknya mahkluk hidup bernyawa. Kejadian-kejadian ghaib yang sering terjadi dihutan belantara Cimeuweuh ini mengundang perhatian besar dari kalangan bangsa Kraton Kanoman yang kemudian hutan belantara yang masih milik tanah kraton ini dinamakan Cimeuweuh.
Melihat hal-hal yang ganjil didaerah hutan belantara yang masih dimiliki oleh Kraton kanoman tersebut, pada akhirnya banyak orang-orang sakti mandraguna baik dari kalangan kraton ataupun dari luar kerajaan yang ingin mencoba kesaktiannya untuk menaklukan daerah Cimeweuh dari pengaruh-pengaruh ghaib, diantaranya menurut informasi yang kami dapat yaitu Embah Layaman, seorang sakti mandaraguna yang memiliki ilmu kanuragan tinggi serta menguasai ilmu agama secara lues, berasal dari daerah solo dan diangkat menjadi penasehat kesultanan karena kesaktian dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Beliau mencoba datang ke cimeuweuh dengan maksud mengusir makhluk-makhluk ghaib serta menaklukan daerah cimeuweuh dari berbagai pengaruhnya, setelah Embah Layaman datang ke Cimeuweuh Beliau mencoba memulainya dengan mengeluarkan berbagai ilmu kesaktiannya untuk menaklukan para penghuni gahib. Usaha demi usaha telah dilakukan tapi ternyata tuhan berkehendak lain , Embah Layaman tidak mampu atau gagal menaklukan wilayah Cimeuweuh dan para penghuninya pada akhirnya dalam keadaan pasrah dan menerima apa adanya beliau berjalan menuju Kali Lunyu beliau bermukim disana dan mendirikan sebuah Masjid. Sampai sekarang masjid di Kali Lunyu masih berdiri dengan kokoh dan merupakan masjid pertama di Kali Lunyu.
Pada tahap berikutnya Embah Soleh sendiri yang hidup pada masa K. Asy’ari (pendiri pesantren Tebu Ireng dan ayah dari hasyim asy’ari [-+ th. 1826 M.]) sebelumnya telah mendirikan pesantern tempat menimba ilmu dan menetap di Situ Patok, bersama sahabatnya K. Anwarudin kemudian beliau pindah ke desa Kegunung di daerah Sumber cirebon serta mendirikan pesantren pula di Kegunung. Riwayat tentang K. Anwarudin menurut informasi yang kami dapat adalah sahabat dekat Embah Soleh guru dari keduanya adalah K. Baha’udin dari Manafizaha tetapi persi lainpun mengatakan K. Anwarudin yang lebih dikenal dengan pangeran Klayan tersebut adalah paman sekaligus guru dari embah soleh.
Melalui perjalanan yang begitu panjang di Kegunung, K. Anwarudin mendapat sebuah petunjuk bahwasannya Embah Soleh yang memegang teguh terhadap ilmu tasawuf (Sufistik) ini harus pindah ke Cimeuweuh dan harus menaklukan pengaruh – pegaruh gaib yang mengelilinginya. K. Anwarudin berfirasat bahwa daerah sumber, suatu saat kelak akan menjadi pusat pemerintahan wilayah Cirebon dan itu akan memberikan dampak besar untuk keselamatan anak cucu Embah Soleh dan ketasawufan serta tidak cocok untuk menyembunyikan anak cucu dari keramaian.
Berawal dari petunjuk K. Anwarudin, akhirnya Embah Soleh bersama K. Anwarudin bertolak menuju tanah Cimeuweuh dengan niatan menaklukan tanah tersebut dari gangguan-ganguan ghaib. Sesampainya disana, embah soleh dan K.Anwarudin bermunajat dan berdo’a kepada Allah SWT. Memohon pertolongan dan keselamatan dari hawa-hawa ghaib, entah apa yang terjadi berkat kesucian dan karomah yang dimilikinya dengan sekilas para penghuni gaib diwilayah Cimeuweuh takluk kepada embah soleh dan menyingkir dari tanah Cimeuweh. Sementara itu keterangan yang kami peroleh dari K. Miftah Putra K. Faqih atau keturunan ke empat dari embah soleh, ketika proses penaklukan makhluk ghaib di Cimeuweuh semua makhluk ghaib di Cimeuweuh takluk dan bersedia berinjak dari tanah Cimeuweuh, tapi ada dua makhluk ghaib yang tidak mau berinjak dari tanah Cimeuwuh yaitu seekor Macan ghaib dan seekor Ular ghaib yang sebelumnya ular ghaib tersebut ada tiga, yang dua pergi dan yang satu menetap, dengan mengadakan sebuah perjanjian bahwa seekor Macan dan Ular ghaib tersebut berjanji akan melindungi dan menjaga anak cucu keturunan Embah Soleh dari hal-hal negative yang membahayakan keturunan Embah Soleh. Pernyataan ini dibenarkan juga oleh k. Muhammad Nuh menantu K . Hasan bin K. Abu Bakar bin Embah Soleh, bahkan menurut pernyataan K. Muhammad Nuh sampai sekarang masyarakat Benda Kerep sering melihat penampakan seekor Macan Putih dengan loreng hitam disekitar Cimeuweuh/benda kerep dan diwaktu yang berbeda masyarakat pula sering melihat penampakan seekor Ular Besar.
Singkat cerita, setelah tanah cimeuweuh ditaklukan, akhirnya kabar penaklukan tanah cimeuweuh oleh embah soleh terdengar juga oleh Sultan Zulkarnaen (Raja Kraton Kanoman pada masa itu), mendengar berita yang baik itu, tanah Cimeuweuh yang masih milik Kraton Kanoman itu ahkirnya dihibahkan oleh Sultan Zulkarnaen kepada embah soleh dengan memasrahkan segalnya asal tanah Cimeuwuh dijadikan sebagi sumber cahaya dan pusat penyebaran agama Allah Swt.
Waktu berputar perlahan tapi pasti, Embah Solehpun mulai menetap di Cimeuweuh bersama istri pertamanya Nyai Menah dari Pekalongan, pada masa permulaan beliau mendirikan sebuah kranggon (pohon besar yang dikasih papan kayu. Red.) sebagai tempat tinggal sementara. Kemudian nama Cimeuweuh diganti dengan nama Benda Kerep karena di tanah Cimeuweuh terdapat pohon Benda (pohon dan buahnya kaya semacan sukun) dan pohon tersebut banyak sekali (Kerep[bahasa jawa]) dengan alasan itulah Cimeuweuh diganti menjadi Benda Kerep, Sekarang cimeuweuh sirna dan benda kerep pun lahir.
Keberadaan Benda Kerep sebagai wajah baru dari tanah Cimeuweuh tentunya telah mengundang berbagai perhatian dari berbagai penjuru masyarakat Cirebon terlebih disitu terdapat orang mulia, sakti mandraguna dan mempunyai wawasan kelimuan yang tinggi dan berakhlak mulia, selalu memegang teguh prinsif-prinsif aqidah dan bersandar pada ajaran tasawuf sebagai implementasi dari ajaran islam sesungguhnya. Banyak dari kalangan masyarakat cirebon khususnya dari daerah tetangga benda kerep yang berniat untuk belajar dan berguru kepada embah soleh, “Lama-Lama Menjadi Bukit” begitulah mungkin yang dirasakan oleh embah soleh tanpa terasa yang semula hanya berdua bersama isrinya kini telah banyak yang menemani embah soleh sebagai muridnya dan embah soleh pun semakin serius untuk membumikan ajara islam di tanah Benda Kerep.
Pada estapeta regenerasinya, tempat tinggal Embah Soleh bersama istrinya yang semulanya adalah tempat kranggon, agar lebih memberikan kenyamanan dalam berumah tangga akhirnya embah soleh yang dibantu bersama murid-muridnya membangun sebuah rumah sederhana sebagai tempat tinggal yang memberikan sebuah kenyamanan, pada akhirnya proses pembangunan rumah tersebut telah memberikan warna sejarah tersendiri bagi benda kerep, yakni rumah yang dibangun oleh embah soleh adalah rumah pertama di kampung benda kerep dan rumah tersebut sampai sekarang masih berdiri kokoh namun telah mengalami berbagai renofasi, yang kemudian sekarang menjadi tempat tinggal K. Faqih cucu Embah Soleh dari K. Abu Bakar.
Melalui hikmah kewalian Embah Soleh, benda kerep yang dahulunya penuh dengan aura mistis kini mulai tampak cahaya-cahaya islam yang bersinar disetiap penjuru kampong benda kerep, proses pengajaran agama islam berjalan dengan sempurna, ayat-ayat suci Al-Quran kian berkumandang ditengah-tengah hutan belantara benda kerep, aplikasi ajaran islam yang selalu menyentuh nila-nilai sikap dan moralitas begitu melekat dalam setiap individu yang berdomoisili di kampong benda kerep, namun disisi lain batin Embah Soleh mulai terusik seolah-olah hampa terasa dan ada yang belum lengakp dalam kehidupan embah soleh, kegelisahan ini mulai terasa karena melihat istrinya yang tak kunjung menghasilkan keturunan padahal seyogyanya peranan anak cucu itu sangat urgen sekali sebagai regenerasi atau penerus perjuangan Embah Soleh dalam menegakkan syariat islam ditanah nusantara kampong benda kerep pada khususnya. Melalui proses perenungan yang begitu panjang dengan diiringi do’a dan restu dari istri pertamanya, akhirnya beliaupun mengambil sebuah keputusan untuk menikah lagi, disuntinglah Nyai Merah dari Manafizaha cirebon sebagai istri keduanya. Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Merah dari Manafizaha Cirebon ternyata cita-cita embah soleh untuk mempunyai keturunan dikabulkan oleh Allah SWT. Nyai Merah telah memberikan dua orang putra da satu putri. yang pertama adalah Embah Muslim atau K. Muslim, putra keduanya adalah K. Abu Bakar dan yang ketiga adalah Nyai Qona’ah.
Megenai keturunan pada generasi berikutnya , setelah kami melakukan interview bersama K. Muhammad Nuh, bahwasannya, Embah Muslim sebagai anak pertama mempunyai tujuh orang putra, sementara istri dan anak perempuan tidak kami temukan keterangannya. Diantara tujuh orang putra tersebut adalah:
1. K. Kaukab ( Benda Kerep )
2. K. Zaeni Dahlan ( Benda Kerep )
3. K. Muhtadi ( Benda Kerep )
4. K. Sayuti ( Cibogo )
5. K. Fahim ( Benda Kerep )
6. K. Fatin ( Benda Kerep )
7. K. Mas’ud ( Benda Kerep )
Dari K. Abu Bakar Putra kedua Embah Muslim, kami temukan keterangan dua orang putra saja, diantaranya adalah:
1. K. Hasan ( Benda Kerep-Mertua K. Muhammad Nuh )
2. K. Faqih ( Benda Kerep- Ayah kandung K. Miftah )
Demikian sekilas tentang sejarah singkat benda kerep mengenai kapan tahun wapatnya Embah Soleh dari berbagi sumber tidak kami peroleh kepastian sedikitpun, namun mengenai perningatan haul nya Embah Soleh dapat kami peroleh dengan pasti yaitu sudah ke 283 jadi dari informasi jumlah peringatan haul yang sudah dilaksanakan bisa diambil kemungkinan wafatnya Embah Soleh pada tahun 1727 M. dengan rumus 2010-283= 1727.
3.2. alasa logis menolak adanya TV, Radio dan jembatan.
Secara garis besar alasan logis mereka menolak adanya tv dan radio karena ingin menghambat berbagai kemungkinan-kemungkinan pengaruh negative dari adanya tv dan radio karena pada realisasinya peran dunia teknologi dari televise dan radio akan senantiasa mempengaruhi budaya local yang memang selalu membawa pengaruh negative dari penayangannya, apabila dikaji lebih dalam adanya tv dan radio akan membawa arus progsesifitas dan mobilitas tinggi bagi perkembangan masyarakat karena pendekatan educative juga dilakukan oleh produksi tv dan radio namun disamping itu budaya luar juga akan mudah diterima oleh masyarakat yang menggunakan tv dan radio sehingga tercipta sebuah sinkrenisasi budaya karena pada eksistensinya tayangan dari tv dan siaran radio selalu memberikan warna budaya-budaya luar entah itu budaya konstruktif ataupun negative, alasan masyarakat benda memang logis kiranya, mereka tidak mengahrapkan budaya mereka terpengarahi oleh budaya luar apalagi menjadi asimilasi budaya dan hilang pula budaya yang mereka agungkan.
Selain adanya kehawatiran budaya mereka hilang, ada hal yang lebih urgen lagi dimasyarakat benda kerep yakni kelekatan nilai-nilai dan sendi-sendi ajaran islam yaitu ajaran sufistik yang diajarkan ol;eh mbah soleh secara turun temurun yang memang itu adalah barometer bagi masyarakat benda kerep sendiri, selamat atau tidaknya sebuah elemen masyarakat atau satu individu dari pandangan masyarakat benda kerep adalah dilaihat Dari bagaimana mereka mengaplilkasikan nilai-nilai islam itu sendiri apa bila mereka lupa terhadap syari’at yang diamanatkan oleh rasulullah maka sudah pasti kiranya mereka terjebak dalam sangkar kesesatan dan kelemahan,dan itu diakui oleh masyarakat muslim sedunia namun pertanyaanya apakah mereka mampu melakukan tindakan filterirasi atau tidak, tindakan yang dilakukan oleh masyarakat benda adalah sebuah tindakan riil yang patut ditauladani sekalipun banyak pendapat miris yang mengatakan masyarakat benda adalah masyarakat yang terisolasi atau terbelakang tapi itu tidak dijadikan sebuah alasan yang tepat untuk tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka. Lebih baik terisolasi namun kaya iman dari pada hidup modern namun miskin spiritual itulah mungkin argumentatif yang tepat bagi masyarakat benda kerep sebagi bentuk apresisiasi terhadap budaya setempat dan nilai-nulai syariat islam.
Menurut pendapat k. miftah salah seorang tokoh ulama terkemuka di benda kerep yang masih keturunan ke empat dari embah soleh, “bukannya kami fanatic atau sentimental terhadap dunia teknologi tapi sekarang coba aja kita di luaran sana dengan pengaruh tv dan radio mungkin mereka maju dari sisi pengetahuan infiormasi dan mereka maju dari sisi ekonomi tapi apakah kita tak sadar mereka juga selau lalai dan terbawa oleh trend-trend yang berkembang, analoginya sperti pengaruh sinetron dan perkembangan trend musik tanah air, dengan adanya sinetron sudah jelas akan mempengaruhi watak dan prilaku masyarakat terutama kalang pemyda yang selalu ingin tampil seperti idola begitupun dengan musik kontemporer para remaja lebih cendrung menghapal musik daripada menghapal pelajaran keagamaan seperti sholawat halnya.
Begitupun dengan jembatanb disamping kehawatiran terjadinya lintas budaya melalui transfortasi sudah jelas kiranya ada juga wasiat dari embah soleh pendiri benda kerep. pernyataan ini kembali dikuatkan oleh sikap dan pernyataan yang sederhana namun kritis k. Miftah yang menyatakan “kehadiran jembatan akan menimbulkna lintas budaya lokal dan interlokal lagi pula akan menimbulkan kebisingan dari alat mesin transfortasi itu jelas mengganggu keteangan dan kehusuan para santri dan masyarakat setempat”.
3.3. data informasi ketertarikan satri luar trerhadap benda kerep
Kajian empirik historikal benda kerep dalam kajian ketertarikan para santri luar terhadap pesantren benda kerep dinyatakan melalui fakta adanya para satri terdahulu ketika masa embah soleh yang mondok atau menuntut ilmu dari warga tetangga khusunya, lalu kemudian secara turun temurun pula kepada anak cucu mereka dipesantrenkan pula ke benda kerep karena dipandang ajaran benda kerep masih sangat tradisional melalui kajian kitab kuningnya yang lebih spesifik dibanding metode pendidikan liberal kontemporer, yang lebih berkesan adalah kelestarian budaya benda kerep yang menjadi daya tarik sendiri.
Tetapi, disamping proses regenerasi dari santri-santri terdahulu ada juga santri yang memang tiada kaitannya dengan satri lama tetapi mereka lebih memilih karena inisiatif sendiri dengan alasan para ulama lebih sufi, arif dan bijaksana.
3.4. informasi benda kulon yang sudah menerima kemajuan teknologi
Berbeda dengan masyrakat benda kerep, masyarakat benda kulon yang letak geografisnya diluar batas sungai, dan dari silsilah keturunannya bukan dari embah soleh melainkan dari warga sekitar yang mengikuti jejak embah soleh ketika masa lampau, sudah menerim adanya kemajuan teknologi dan alar transfortasi, alasan yang dijadikan sebagai argumen mereka adalah karena mereka mengaku tidak ada wasiat dari embah soleh karena sejatinya wasiat tersebut hanya berlaku bagi wilayah benda kerep dan keturunan asli embah soleh. Maka untuk itu mereka lebiih menerima datangnya teknologi dan informasi sebagai bagian dari adaptasi dengan kemajuan jaman dengan satu alasan yang tepat mampu menyaring berbagai pengaruh dan penomena yang terjadi dampak dari televsi dan radio tersebut.
Letak
benda kerep terletak di daerah argasunya, cirebon Secara geografis, terletak pada posisi 10833 Bujur Timur dan 61 Lintang Selatan. Bentang alamnya merupakan dataran tinggi daerah cirebon dengan luas tanah 33 hektar.

kecamatan Harjamukti. Kemiringan 15-25% tersebar di wilayah Kelurahan Argasurya, kecamatan Harjamukti.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kampung Benda Kerep yang tetap berpegang teguh dengan tradisi warisan leluhur telah membuatnya memiliki beberapa keunikan, baik dalam upacara adat, pola kehidupan sampai dengan penataan ruang dan gaya arsitektur bangunannya.
Jika sampai saat ini masyarakat Kampung Benda Kerep tidak menerima kemajuan teknologi dari pemerintah, hal ini tentunya memiliki alasan yang kuat yang menurut mereka dapat berdampak buruk bagi kebudayaannya dan dapat pula membahayakan 4.2. SARAN
Kampung Benda Kerep tentunya telah berusaha keras untuk mempertahankan tradisi adat istiadatnya di tengah arus globalisasi dan mereka telah membuktikan bahwa dirinya mampu. Sekarang adalah kita untuk turut serta melestarikan kebudayaan mereka dan kebudayaan Nusantara lainnya dengan memperkenalkannya kepada generasi – generasi secara turun temurun karena kebudayaan – kebudayaan inilah yang telah memperkaya khasanah budaya Indonesia.

Kakek Pertapa dari Dieng Wonosobo

Keduselatan.com, Wonosobo – Siapa yang tidak kenal kawasan wisata Dieng Wonosobo? nah bila kita pergi kesana, nah dipinggir jalan menuju kawasan Dieng terdapat tenda biru, namun tenda tersebut dihuni oleh seorang kakek bernama Mbah Fanani, dikenal sebagai Kakek pertapa dari Dieng Wonosobo. Pria yang diperkirakan berusia 70 tahun itu sudah lebih dari 20 tahun bertapa di Desa Dieng Kulon Kabupaten Banjarnegara, tepatnya sebelum pintu masuk Komplek Candi Arjuna, kabar yang beredar simbah berasal dari Cirebon, namun juga tak ada yang tahu kenapa simbah Fanani memilih bertapa di Dieng.
Menurut pak Slamet, warga sekitar memang ada dua jenis tapa yang dilakoni orang-orang, yaitu tapai ramai dan tapa nyepi, untuk simbah Fanani ini kemungkinan menganut faham tapa ramai karena bertapa di pinggir jalan.
Namun pak Slamet pun tak tahu menahu mengenai kenapa Dieng yang dijadikan lokasi tapa oleh simbah. Konon sebelumnya simbah tersebut bertapa di gua di kawasan Dieng, namun kemudian turun dengan cara merangkak dan pindah ke depan rumah penduduk setempat bernama Sugiyono di pinggir jalan yang menghubungkan Wonosobo dan Banjarnegara ini.
“Saya juga nggak tahu kenapa Mbah pilih di depan rumah saya,” jelas Sugiyono yang akrab disapa Ono ini.
17 tahun lalu persis saat putranya lahir, mbah Fanani sudah berdiam di depan rumah dengan membawa plastik, Namun oleh Ono dan keluaga simbah tidak diusir bahkan kemudian diberi makan, sehari tiga kali, makan pagi, siang dan malam, dan uniknya simbah hanya mau dikasih makanan dari rumah Ono, tidak mau dari warga lainnya.
“Ini tenda biru yang bangun santri dari Pasuruan disuruh kyainya katanya, dulu cuma seadanya. Katanya kasihan si mbah kedinginan, ya saya sih silakan saja,” terang Ono.
Banyak yang menemui mbah Fanani, kebanyakan dari luar kota seperti Cirebon, pada musim pencalegan banyak caleg yang ingin sukses ini menemui mbah Fanani demi ngalap berkah.
Bahkan ada orang dari Cirebon datang dan mengaku keturunan Mbah Fanani. Orang itu pun mencoba membawa Mbah Fanani pulang ke Cirebon tetapi tak bisa dilakukan karena si mbah menggeleng menolak.
Banyak cerita dan mitos soal si mbah yang tak pernah keluar dari tendanya. “Nggak pernah keluar, nggak tahu ke WC gimana. Tapi si mbah cuma pakai sarung saja sehat-sehat nggak pernah sakit padahal Dieng dingin,” urai Ono.
Kisah mbah Fanani masih diliputi misterius hingga kini, penduduk diengpun tak berani mengusik dan membiarkan siapa saja yang menemui simbah, bila simbah tak mau ditemui biasanya menutupi wajahnya dengan rambut.
“Ya kita mah hidup masing-masing saja, si Mbah mungkin ingin seperti ini ya biar saja,” jelas Ono.
Konon kabarnya dahulu kala awal-awal datang ke Dieng si mbah masih suka berbicara. Dia kerap marah kala orang datang ke dia meminta nomor togel. Kemudian juga, si mbah pernah berucap akan selesai bertapa di Dieng bila ada datang kapal menjemputnya.
Bila anda penasaran, bisa disempatkan mampir tatkala berkunjung ke Kawasan Wisata Dieng Wonosobo. (den)

Ada Nenek Pertapa di Situbondo, Ada Juga Kakek yang Sudah Tapa Puluhan Tahun di Dieng


Ada Nenek Pertapa di Situbondo, Ada Juga Kakek yang Sudah Tapa Puluhan Tahun di Dieng

Nenek pertapa di hutan jati Desa Sumberkolak Kecamatan Panarukan, Situbondo membuat geger. Nenek itu sudah 25 hari bertapa di hutan. Dia tak makan, hanya meminum air putih. Nenek itu marah saat didekati, warga dan pihak terkait kini melakukan pemantauan.

Urusan pertapa, tak hanya nenek di Situbondo saja. Bila Anda pergi ke kawasan Dieng, Wonosobo, Jateng, di pinggir jalan ada sebuah tenda biru. Tenda itu bukan sembarang tenda tapi dihuni Mbah Fanani.

Tak ada yang tahu persis siapa sesungguhnya Mbah Fanani, pria yang ditaksir berusia 70-an tahun dan sudah 20 tahun lebih bertapa di pinggir jalan di Dieng Wetan, Jateng ini. Asal usul si mbah ini pun hanya berasal dari rumor saja.

Kabarnya dia berasal dari Cirebon, dan tak diketahui apa yang membuat dia memilih bertapa di Dieng.

"Tapa itu ada dua, tapa ramai tapa nyepi. Si Mbah ini mungkin mau tapa ramai, di pinggir jalan," terang Slamet seorang penduduk Dieng saat ditemui beberapa waktu lalu.

Tapi Slamet pun angkat tangan tak tahu mengapa daerah Dieng yang menjadi tempat lokasi tapa si Mbah. Dahulu si Mbah ini bertapa di gua di kawasan Dieng namun kemudian dengan berjalan merangkak dia pindah ke depan rumah penduduk bernama Sugiyono di pinggir jalan Dieng yang menghubungkan Wonosobo dan Banjarnegara.

"Saya juga nggak tahu kenapa Mbah pilih di depan rumah saya," jelas Sugiyono yang akrab disapa Ono ini.

Saat diam di depan rumah Ono, 17 tahun lalu persis saat putranya lahir, Mbah Fanani tahu-tahu membawa plastik dan berdiam di depan rumah. Ono dan keluarga tak mengusir dan kemudian malah memberi makan.

"Makan pagi, siang, sama malam. Mbah maunya makan dari makanan dari rumah saya saja, dikasih orang lain nggak mau," terang dia.

Bila Anda melintas di pinggir jalan Dieng, melihat tenda biru di sanalah Mbah Fanani tinggal. Detikcom sempat bertemu si mbah di dalam tendanya. Tatap matanya tajam, kulit putih, dan rambut hitam bergelung. Tak ada kata-kata yang diucapkan si Mbah, dia hanya menggeleng atau mengangguk saja.

"Ini tenda biru yang bangun santri dari Pasuruan disuruh kyainya katanya, dulu cuma seadanya. Katanya kasihan si mbah kedinginan, ya saya sih silakan saja," terang Ono.

Banyaknya yang datang menemui Mbah Fanani justru orang dari luar kota, bahkan dari Cirebon. Rupa-rupa permintaan mereka, apalagi pas musim pencalegan, banyak caleg yang ingin sukses dan menemui Mbah Fanani.

"Saya sih nggak tahu siapa saja yang datang, mungkin malam kali datangnya. Tahu-tahu di dekat tenda pagi banyak gambar Caleg," jelas Ono.

Pernah suatu ketika ada orang dari Cirebon datang dan mengaku keturunan Mbah Fanani. Orang itu pun mencoba membawa Mbah Fanani pulang ke Cirebon tetapi tak bisa dilakukan karena si mbah menggeleng menolak.

Banyak cerita dan mitos soal si mbah yang tak pernah keluar dari tendanya. "Nggak pernah keluar, nggak tahu ke WC gimana. Tapi si mbah cuma pakai sarung saja sehat-sehat nggak pernah sakit padahal Dieng dingin," urai Ono.

Kisah Mbah Fanani ini memang misterius. Penduduk Dieng tak banyak tahu soal Mbah Fanani, mereka juga tak mengusiknya. Mereka juga membiarkan kala ada orang berziarah bertemu si mbah. Bila menolak menerima tamu biasanya dia menutup wajahnya dengan rambutnya.

"Ya kita mah hidup masing-masing saja, si Mbah mungkin ingin seperti ini ya biar saja," jelas Ono.

Konon kabarnya dahulu kala awal-awal datang ke Dieng si mbah masih suka berbicara. Dia kerap marah kala orang datang ke dia meminta nomor togel. Kemudian juga, si mbah pernah berucap akan selesai bertapa di Dieng bila ada datang kapal menjemputnya.

Percaya tak percaya, Mbah Fanani ini salah satu fenomena yang ada di Dieng. Anda tertarik menemui si mbah?

Siapakah Sebenarnya Mbah Fanani? Pertapa di Gunung Dieng


fanani

Dataran Tinggi Dieng merupakan Destinasi Wisata Unggulan yang Berada di Jawa Tengah, Terletak di 2 Wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dieng pada Dasarnya Merupakan Kawasan Vulkanif Aktif di bawah Permukaannya seperti Dataran Tinggi Tengger, dua tempat ini memiliki Beberapa kesamaan dari sisi geografisnya serta tempat wisata yang terkenal akan keindahan Alam dan Tradisi serta Budayanya yang Beragam.
mbahfanani
 
lokasi meditasi mbah fanani
namun ada yang berbeda di Dieng, yaitu tentang keberadaan sosok misterius yang bermeditasi atau Bertapa di tengah-tengah Masyarakat Dieng, bertempat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, namanya mbah ”Fanani” ( Simbah, bahasa jawa ; orang yang dituakan), Siapakah Sebenarnya Mbah Fanani? Pertapa di Gunung Dieng, Berdasarkan Informasi dari Masyarakat Dieng bahwa mbah Fanani Berasal dari Cirebon, beberapa Pengunjung yang sering menjenguk mbah Fanani berasal dari Cirebon, saudara dan keluarga simbah Fanani, ”ujar Pak Ono warga Dieng yang rumahnya di dekat simbah Bermeditasi. Masyarakat setempat sampai saat ini tidak ada yang tau pasti apa maksud dan tujuan Mbah Fanani Bertapa di Dieng.
Menurut Informasi Masyarakat setempat, Mbah Fanani datang ke Dieng pada tahun 1990, pada awalnya simbah semedi di Desa Tieng, di sebuah rongga batu besar selama 6 tahun. kemudian pada tahun 1996 simbah berpindah ke Desa Dieng Kulon, tempat sekarang bermeditasi. diperkirakan sudah 28 tahun mbah fanani sudah berada di Dieng,  awalnya masyarakat setempat menamakan simbah tersebut dengan nama Mbah Slamet (nama orang jawa; artinya selamat) namun Beberapa pengunjung yang mengaku masih dari keluarga mbah Fanani yang mengaku Berasal dari Cirebon, Jawa Barat memanggilnya Mbah Fanani.
Berikut kami sertakan juga eksistensi aneh Mbah Fanani yang kami langsir dari Merdeka.com – Percaya atau tidak, banyak orang meyakini kesaktian Mbah Fanani. Salah satu cerita disampaikan oleh Taifin, ketua RT 1/RW 1 Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dia bersama istrinya menceritakan Mbah Fanani pernah ditemui di Makkah, Arab Saudi, oleh seorang warga Banjarnegara.
“Pernah ada yang ketemu Mbah Fanani di Makkah. Waktu itu cleaning service Ka’bah yang ketemu, kebetulan dia itu orang Banjarnegara. Katanya pas dia ngepel lantai sekitar Ka’bah ketemu dan kenalan. Dia ngaku namanya Mbah Fanani dan tinggal di Dieng. Nah pas si cleaning service pulang kampung, dia ke sini nyari Mbah Fanani terus pas ditemuin katanya emang benar dia (Mbah Fanani) yang waktu di Makkah ketemu,” kata Taifin.
Warga pun kemudian merasa heran mendengar pengakuan tersebut. Sebab, selama ini Mbah Fanani diketahui hanya berdiam diri di tenda dan tak pernah terlihat pergi ke mana pun. Jangankan ke Makkah, sepengetahuan dia, Mbah Fanani 19 tahun tidak pernah keluar dari tenda.
“Memang kalau secara logika itu sulit untuk dipercaya. Tapi kenyataannya ada yang ngaku begitu dan sampai datang ke sini,” ujar Taifin.
Hingga kini belum diketahui secara pasti asal usul Mbah Fanani. Namun, ada beberapa orang yang mengaku keluarga dan menyebut bahwa dia berasal dari Cirebon, Jawa Barat.
Sebelumnya mohon maaf jika dalam tulisan ini ada yang kurang berkenan untuk Saudara maupun Keluarga dari Mbah Fanani, tulisan yang saya buat bukan bertujuan untuk mengekspose keberadaan dan mengganggu ketentraman Mbah Fanani, akan tetapi tulisan ini saya buat dengan niat semoga apa yang dicari mbah Fanani di Dieng diijabah oleh Alloh SWT, ataupun jika Simbah Fanani bertujuan menunggu seseorang, semoga tulisan yang saya tulis sampai kepada orang yang ditunggunya, Amin.

Ini Nih 5 Kesaktian Mbah Fanani




#beritadunia.net/ Mbah Fanani, 19 tahun bertapa di Jalan Raya Dieng, RT 1 RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, dikenal sebagai sosok pria misterius. Sebab, dia tidak pernah bicara sama sekali dan hingga kini belum ada yang mengetahui asal usul, maksud, serta tujuan dirinya bertapa.
Mbah Fanani bertapa di sebuah tenda kecil depan rumah warga. Di menghabiskan waktu belasan tahun di dalam tenda tanpa beraktivitas apa pun. Pria yang memiliki usia sekitar 60 tahun itu, kebal dengan dinginnya udara Dieng. Meskipun panas terik, hujan badai Mbah Fanani tidak pernah sekali pun terlihat beranjak dari tendanya tersebut. Dia hanya diam, duduk sembari berselimut kain hitam.
Akan tetapi dengan kebiasaan dan keanehannya itu, Mbah Fanani dianggap memiliki kesaktian oleh banyak orang. Terbukti dengan setiap harinya banyak tamu yang selalu mengunjungi Mbah Fanani dengan tujuan yang berbeda-beda. Bahkan, warga setempat mengungkapkan bahwa tamu pria yang mempunyai rambut gimbal hingga bermeter-meter itu datang dari kalangan habib dan ustaz.
Entah siapa Mbah Fanani ini sehingga bisa menyedot perhatian orang-orang yang mengunjunginya. Yang pasti para tamu atau pun warga sekitar percaya kalau Mbah Fanani memiliki kesaktian. Berikut kesaktian Mbah Fanani yang diungkap warga:
Mbah Fanani pernah ditemui di Makkah
Percaya atau tidak, banyak orang meyakini kesaktian Mbah Fanani. Salah satu cerita disampaikan oleh Taifin, ketua RT 1/RW 1 Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dia bersama istrinya menceritakan Mbah Fanani pernah ditemui di Makkah, Arab Saudi, oleh seorang warga Banjarnegara.
"Pernah ada yang ketemu Mbah Fanani di Makkah. Waktu itu cleaning service Ka'bah yang ketemu, kebetulan dia itu orang Banjarnegara. Katanya pas dia ngepel lantai sekitar Ka'bah ketemu dan kenalan. Dia ngaku namanya Mbah Fanani dan tinggal di Dieng. Nah pas si cleaning service pulang kampung, dia ke sini nyari Mbah Fanani terus pas ditemuin katanya emang benar dia (Mbah Fanani) yang waktu di Makkah ketemu," kata Taifin.
Warga pun kemudian merasa heran mendengar pengakuan tersebut. Sebab, selama ini Mbah Fanani diketahui hanya berdiam diri di tenda dan tak pernah terlihat pergi ke mana pun. Jangankan ke Makkah, sepengetahuan dia, Mbah Fanani 19 tahun tidak pernah keluar dari tenda.
Setiap masuk waktu salat, Mbah Fanani menghilang dari tenda
Bicara soal hal mistis maupun gaib bisa percaya atau tidak. Seperti yang terjadi dengan Mbah Fanani. Konon dia tidak pernah ada di tendanya saat masuk waktu salat lima waktu.
"Kalau pas salat 5 waktu, Mbah Fanani juga enggak pernah ada di tendanya. Dia hilang enggak tahu ke mana," kata istri Taifin, Ketua RT 1/RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Soal adanya pengakuan dari berbagai pihak soal kesaktian Mbah Fanani, Taifin tidak pernah menyangkalnya. Namun, dia percaya semua ketentuan sudah diatur oleh Allah S.W.T.
"Dibilang sakti ya sakti, bukti kesaktiannya yang bisa dilihat oleh mata yaitu belasan tahun hidup di tenda terpal enggak pakai alas. Kehujanan, kepanasan, padahal dingin banget di sini, dia bisa bertahan. Mungkin kalau orang kaya kita, sebulan sudah meninggal. Itulah yang bisa dilihat saktinya. Kalau yang lainnya bisa mendatangkan rezeki atau jodoh atau yang lainnya, kurang tahu. Yang merasakan yang suka datang. Kalau warga sini, percaya enggak percaya. Saya mah wallahualam," kata Taifin.
Mbah Fanani sudah bertapa selama 19 tahun di Jalan Raya Dieng, RT 1/RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dalam menjalani ritual bertapa, Mbah Fanani tetap makan dan minum seperti biasa. Makanan setiap hari diberikan oleh warga yang rumahnya berada di belakang tenda Mbah Fanani.
Tenda Mbah Fanani dilempar botol minum, pelakunya kecelakaan
Berbagai cerita diungkapkan beberapa saksi soal kelebihan Mbah Fanani memang sulit dipercaya. Namun, meski demikian, warga Dieng menegaskan semua cerita itu tanpa rekayasa. Entah kebetulan atau pun tidak, cerita di balik mistis sosok Mbah Fanani diungkap oleh Narti (36), warga yang rumahnya berada di depan tenda Mbah Fanani.
Menurut Narti, dulu pernah ada orang dari melempar botol minuman ke depan tenda Mbah Fanani dari dalam mobil. Tak lama setelahnya, mobil itu kecelakaan.
"Pernah ada orang ngelempar botol air mineral ke depan tenda Mbah Fanani, terus pas di perjalanan, orang itu katanya ngerasa gelap, enggak bisa lihat apa-apa, dan akhirnya kecelakaan," kata Narti saat ditemui beberapa waktu lalu.
Selain itu, lanjut Narti, ada sebuah mobil yang bannya bocor, tiba-tiba ban itu melayang di atas tenda Mbah Fanani. Warga yang menyaksikan berteriak karena menduga ban tersebut akan jatuh tepat ke atas tenda Mbah Fanani.
"Tapi ternyata ban itu melewati tendanya Mbah Fanani, semua yang melihat takut kalau bakal kena Mbah," tuturnya.
Warga pun dibuat heran saat ban tersebut bisa melewati tenda Mbah Fanani. Padahal jika dilihat arah jatuhnya ban, sudah pasti menimpa tenda Mbah Fanani.
Mbah Fanani bisa rasakan aura negatif para tamu
Mbah Fanani sosok orang terbilang unik. Sebab, selama 19 tahun dia hanya diam tak pernah berkomunikasi apapun. Dari keunikan itu, malah banyak orang berdatangan menemuinya. Tapi ternyata, tidak semua orang yang bisa masuk ke dalam tenda untuk menemuinya.
Bukan karena dia menakutkan atau menyeramkan, konon dia bisa merasakan jika orang yang datang bertujuan tidak baik. Mbah Fanani akan mengusir dengan kode lambaian tangan atau jarinya. Namun apa bila batinnya merasa orang tersebut baik, maka Mbah Fanani pun akan mengajak masuk dengan lambaian jarinya pula.
"Dia tahu kalau kira-kira orang yang datang tujuannya enggak baik, Mbah Fanani pasti enggak mau (ditemui) dan ngusir," kata Narti (36) warga sekitar, saat ditemui beberapa hari lalu.
Tak hanya itu, warga sekitar pun tidak semua bisa mendekatinya. Mbah Fanani pernah menolak beberapa warga dianggap kurang pas di hatinya, ketika akan memberi makan atau membersihkan tendanya.
"Bukan cuma tamu, sama warga di sini juga ada yang enggak mau kalau dikasih makan atau bersihin tendanya. Yang setiap hari ngasih ya ibu Uripah, yang punya rumah belakang tendanya," ujar Narti.
Bahkan, jika Mbah Fanani tidak ikhlas, setiap tamu yang berkunjung lalu meminta foto maka hasilnya tidak terlihat.
"Kalau enggak ikhlas foto juga enggak kelihatan. Saya sering lihat tamu foto tapi hasilnya enggak ada. Sering saya lihat begitu," kata Widodo (55), salah seorang warga.
Banyak orang sowan ke Mbah Fanani minta nomor togel hingga jodoh
Keberadaan Mbah Fanani yang bertapa di Jalan Raya Dieng, RT 1/RW 1, Desa Diengkulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, membuat banyak orang dari berbagai daerah berdatangan. Pria yang tak pernah bicara itu dianggap memiliki kesaktian dan kemampuan di luar akal manusia.
Seperti yang diungkapkan Widodo (55) salah satu warga setempat. Dia menceritakan, dulu kakak perempuannya pernah kehilangan kalung saat bertani di ladang. Lalu dia mendatangi Mbah Fanani menceritakan kejadian yang dialaminya dan berharap kalungnya bisa ditemukan.
"Waktu itu, mbak saya pernah kalungnya hilang di ladang, terus dia datang ke Mbah Fanani minta tolong. Eh besoknya tiba-tiba kalung itu ketemu," kata Widodo saat ditemui pekan lalu.
Selain itu, Widodo pernah mencoba datang ke Mbah Fanani meminta nomor togel. Namun saat itu Mbah Fanani hanya menunjuk ke luar.
"Saya juga pernah minta rezeki, saya bilang 'Mbah, saya minta rizki, minta nomor', tapi dia nunjuk ke luar pas ada mobil lewat. Saya pikir apa nomor mobil yang lewat atau saya suruh keluar. Tapi saya lihat mobil udah jauh," ujarnya.
Meskipun tidak mengetahui pasti tujuan tamu yang datang ke Mbah Fanani, namun dari pengamatan Widodo, dia menduga mereka datang sama seperti dirinya, yaitu meminta rizki atau pun jodoh.
"Paling yang pada datang juga sama, minta jodoh juga mungkin. Beberapa hari lalu malah ada cewek pakai baju seksi terus dandanan menor datang. Saya rasa cewek nakal, datang ke si Mbah. Udah gitu lama banget, ada kali sejam enggak keluar-keluar. Saya juga sempat heran itu cewek kok lama, terus minta pemuda intip dia ngapain, eh ternyata enggak ngapa-ngapain. Mungkin minta jodoh kali hehe," ucap Widodo sambil berseloroh.
Dipercaya atau tidak Mbah Fanani konon bisa membantu kesulitan dan permintaan tamu. Oleh karena selama 19 tahun tenda Mbah Fanani tak pernah sepi dari pengunjung.
Tags: sakti   mbah   fanani

 

Mbah Fanani Bertapa 26 Tahun Di Dataran Tinggi Dieng



Mbah Fanani di dalam bilik

Samudra Biru _ Jalan berliku dan curam ditambah dengan dinginnya udara tidak menyurutkan laju kuda besiku untuk mencapai dataran tinggi Dieng yang konon merupakan salah satu dataran tinggi terluas di Indonesia dengan ketinggian 2093 M DPL.

Dengan suhu bisa mencapai 0 derajat celcius pada pagi hari (musim kemarau) di bulan juli dan agustus. (sumber wikipedia) 

Semua berawal dari informasi yang aku dapat dari dunia maya juga beberapa kawan mengatakan hal yang senada, hingga akhirnya ingin membuktikan sendiri keberadaan sosok misterius yang menjadi perbincangan banyak orang tersebut. 

Mbah Fanani demikian orang-orang menyebutnya, keberadaan Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng cukup menarik untuk ditelisik. Siapa sebetulnya beliau? Dan apa maksud serta tujuan Mbah Fanani bertapa? atau lebih tepatnya menurutku menyendiri selama 26 tahun lamanya ditepi jalan di dataran tinggi dieng di rt 1/rw 1 Desa Dieng Kulon depan Musala Al-Amin jalan menuju komplek Candi Dieng, dari Musala kurang lebih berjarak 25 meter. Dengan hanya menempati bilik kecil berukuran kurang lebih 1,5x1 meter berdinding dan beratapkan terpal berwarna biru. (lihat foto) 

  Musala Al-Amin dari seberang jalan, terlihat bilik berwarna biru
Disaat orang kebanyakan berlomba-lomba mengejar gemerlapnya isi dunia justru sebaliknya sosok Mbah Fanani menepi seorang diri menjauh dari itu semua cukup di bilik kecil dengan hanya berkain sarung saja. 

H. Zainudin adalah orang pertama yang aku coba tanya, tak banyak yang aku dapatkan informasi dari lelaki sepuh ini. Beliau terkesan tertutup dan nampak hati-hati sekali dalam berkata. Meski demikian beliau memberikan penjelasan sebelum Mbah Fanani menempati bilik itu sambil tangannya menunjuk kearah yang dimaksudkan dari dalam musala. 

Dahulu Mbah Fanani sebelum di Desa Dieng Kulon ini, bertapa di Desa Sitieng menempati sebuah goa kecil ditepi jalan hingga beberapa tahun lamanya, kemudian tanpa diketahui sebabnya beliau berpindah ke Desa Wadas Putih yang masih satu arah jalan menuju komplek Candi Dieng, lantas berpindah lagi di Desa  Patak Banteng dan di Desa Dieng Kulon ini paling lama, yaitu kurang lebih 17 tahun lamanya kata beliau. 

Lain halnya dengan penuturan Pak Mujiono lelaki tengah baya yang memiliki usaha toko persis diseberang jalan Musala Al-Amin. Beliau mengatakan terkadang banyak orang-orang dari luar kota berdatangan antara lain dari Batang, Pekalongan, Purwokerto, Jepara serta kota lainya hingga dari luar Jawa mengunjungi tempat pertapaan Mbah Fanani katanya. Masih menurut penuturan Pak Mujiono, bahkan sering terlihat mereka yang datang ternyata diketahui para santri dari luar kota kemudian membersihkan tempat sekitar pertapaan Mbah Fanani. 

Rumah Pak Mujiono bisa terbilang sangat dekat dengan pertapaan Mbah Fanani, namun selama belasan tahun lamanya beliau menuturkan tidak pernah sekalipun melihat Mbah Fanani keluar dari bilik kecil tersebut. Ketika aku tanyakan maksud dan tujuan Mbah Fanani laku tapa, beliau menjawab tidak tahu. Beliau justru menyuruhku bertanya ke sebuah rumah yang persis berada di belakang tempat Mbah Fanani bertapa. 
Foto diambil dari rumah Pak Mujiono
Rasa penasaran membuatku mendatangi rumah yang persis dibelakang bilik Mbah Fanani, saat melewati depan bilik yang tertutup rapat itu sempat aku lirik ada piring dalam keadaan kosong tergeletak dibibir bilik, selebihnya hanya gelap yang terlihat meski sore itu cukup cerah cuacanya. 

Di teras ternyata terlihat berkumpul ibu-ibu yang sedang mengobrol, mereka sepertinya bersikap biasa saja dan tidak ada sesuatu yang aneh meski jarak antara tempat mereka duduk-duduk ke bilik Mbah Fanani tak lebih dari 5 meter jaraknya. Akhirnya satu diantara mereka aku ketahui bernama Ibu Sugiono pemilik rumah. Tak banyak pula yang aku dapat keterangan dari Ibu Sugiono baik maksud dan tujuan Mbah Fanani memilih bertapa di depan rumahnya tersebut.
Foto diambil dari rumah Pak Sugiono
Yang pasti selain para pengunjung luar kota juga yang kebetulan melintas kemudian memberikan makan dan air mineral di bilik, dalam kesehariannya Pak Sugiono dan keluarga yang menyediakan makanan. Tapi anehnya meski mereka yang paling dekat secara fisik dengan Mbah Fanani juga belum pernah melihat sosok Mbah Fanani keluar dari bilik selama ini.

Padahal dari penuturan Ibu Sugiono keluarganya juga menyediakan/membuatkan khusus kamar kecil tapi hingga saat ini belum pernah digunakan sama sekali. Kesan hati-hati dalam memberikan informasi begitu terasa dari orang-orang sekitar Mbah Fanani bertapa, akhirnya aku putuskan mencari informasi yang cukup jauh jaraknya namun masih diseputar Dataran Tinggi Dieng. 

Dari kabar yang berhembus luas dari penduduk setempat, sosok lelaki misterius yang disebut Mbah Fanani ini memiliki pandangan khusus mengenai dataran tinggi dieng. Sebagaimana tertera dalam ramalan Jayabaya disebutkan wilayah Kedulangmas (Wil. Kedu, Magelang & Banyumas) nantinya akan ditutupi banjir bandang yang besar. 

Oleh karena itu Mbah Fanani memiliki kayakinan dia tidak akan pulang ke tanah kelahirannya sebelum hal tersebut terjadi di daerah yang dimaksudkan. 

 "Disini penulis jadi ingat sepanjang jalan dari arah Wonosobo baik bukit maupun gunung seputar dataran tinggi dieng hampir tidak menemukan hutan atau pohon besar kecuali tanah gunung dan perbukitan yang sudah berubah fungsi menjadi lahan tanaman kentang dan sebagainya". (lihat foto). 
Gunung sekitar diperkosa sedemikian rupa
Beralih fungsi bagaimana jika alam menagih janji?
Masih menurut cerita seputar Mbah Fanani dari penduduk setempat. Pernah suatu hari keluarga Mbah Fanani yang konon dari Benda Kerep Cirebon Jawa Barat (bukan Kuningan seperti yang dikatakan banyak orang) datang bermaksud menjemput dan kemudian mengangkat tubuh Mbah Fanani dari dalam bilik kedalam mobil namun anehnya ketika mobil hendak distater tidak bisa hidup. Atau dengan kata lain Mbah Fanani mengisyaratkan tidak ingin pulang terlebih dahulu. 

Ada lagi cerita yang berhembus suatu hari pernah dikawasan jalan Desa Dieng Kulon dan Wetan yang masuk wilayah wonosobo terendam banjir bandang namun anehnya air yang mengalir seperti menjauh dari tempat pertapaan Mbah Fanani. Di luar nalar memang namun demikianlah cerita dari penduduk setempat yang dekat dengan tempat pertapaan Mbah Fanani. Dan masih banyak lagi cerita-cerita mistis seputar sosok misterius Mbah Fanani yang berkembang di masyarakat. 

Yang pasti hanya Tuhan dan Mbah Fanani sendiri yang mengetahui maksud dan tujuan yang tersirat dari beliau melakukan tapa di dataran tinggi dieng. Wallahu A'lam Bisowab. (an_sambiru)

TULISAN TENTANG MBAH FANANI, PETAPA DIENG

Mbah Fanani di dalam bilik
1. Edan! Mbah Fanani Bertapa 26 Tahun di Dataran Tinggi Dieng
Jalan berliku dan curam ditambah dengan dinginnya udara tidak menyurutkan laju kuda besiku untuk mencapai dataran tinggi Dieng yang konon merupakan salah satu dataran tinggi terluas di Indonesia dengan ketinggian 2093 M DPL. Dengan suhu bisa mencapai 0 derajat celcius pada pagi hari (musim kemarau) di bulan Juli dan Agustus.
Semua berawal dari informasi yang aku dapat dari dunia maya, juga beberapa kawan mengatakan hal yang senada, hingga akhirnya ingin membuktikan sendiri keberadaan sosok misterius yang menjadi perbincangan banyak orang tersebut.
Mbah Fanani demikian orang-orang menyebutnya, keberadaan Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng cukup menarik untuk ditelisik. Siapa sebetulnya beliau? Dan apa maksud serta tujuan Mbah Fanani bertapa? atau lebih tepatnya menurutku menyendiri selama 26 tahun lamanya di tepi jalan di dataran tinggi dieng di Rt 1/Rw 1 Desa Dieng Kulon depan Musala Al-Amin jalan menuju komplek candi Dieng, dari musala kurang lebih berjarak 25 meter. Dengan hanya menempati bilik kecil berukuran -+1,5x1 meter beratapkan terpal berwarna biru. Disaat orang kebanyakan berlomba-lomba mengejar gemerlapnya isi dunia justru sebaliknya sosok Mbah Fanani menepi seorang diri menjauh dari itu semua cukup di bilik kecil dengan hanya berkain sarung saja.
H. Zainudin adalah orang pertama yang coba kutanya, tak banyak yang aku dapatkan informasi dari lelaki sepuh ini. Beliau terkesan tertutup dan nampak hati-hati sekali dalam berkata. Meski demikian beliau memberikan penjelasan sebelum Mbah Fanani menempati bilik itu sambil tangannya menunjuk ke arah yang dimaksudkan dari dalam musala.
Dahulu Mbah Fanani sebelum di Desa Dieng Kulon ini, bertapa di Desa Sitieng menempati sebuah goa kecil di tepi jalan hingga beberapa tahun lamanya, kemudian tanpa diketahui sebabnya beliau berpindah ke Desa Wadas Putih yang masih satu arah jalan menuju komplek Candi Dieng, lantas berpindah lagi di Desa Tapak Banteng dan di Desa Dieng Kulon ini paling lama, yaitu kurang lebih 17 tahun lamanya kata beliau.
Lain halnya dengan penuturan Pak Mujiono lelaki tengah baya yang memiliki usaha toko persis diseberang jalan Musala Al-Amin. Beliau mengatakan terkadang banyak orang-orang dari luar kota berdatangan antara lain dari Batang, Pekalongan, Purwokerto, Jepara serta kota lainya hingga dari luar Jawa mengunjungi tempat pertapaan Mbah Fanani katanya. Masih menurut penuturan Pak Mujiono, bahkan sering terlihat mereka yang datang ternyata diketahui para santri dari luar kota kemudian membersihkan tempat sekitar pertapaan Mbah Fanani.
Rumah Pak Mujiono bisa terbilang sangat dekat dengan pertapaan Mbah Fanani, namun selama belasan tahun lamanya beliau menuturkan tidak pernah sekalipun melihat Mbah Fanani keluar dari bilik kecil tersebut. Ketika aku tanyakan maksud dan tujuan Mbah Fanani laku tapa, beliau menjawab tidak tahu. Beliau justru menyuruhku bertanya ke sebuah rumah yang persis berada di belakang tempat Mbah Fanani bertapa.
Rasa penasaran membuatku mendatangi rumah yang persis di belakang bilik Mbah Fanani. Saat melewati depan bilik yang tertutup rapat itu sempat aku lirik ada piring dalam keadaan kosong tergeletak di bibir bilik, selebihnya hanya gelap yang terlihat meski sore itu cukup cerah cuacanya.
Di teras ternyata terlihat berkumpul ibu-ibu yang sedang mengobrol, mereka sepertinya bersikap biasa saja dan tidak ada sesuatu yang aneh meski jarak antara tempat mereka duduk-duduk ke bilik Mbah Fanani tak lebih dari 5 meter jaraknya. Akhirnya satu diantara mereka aku ketahui bernama Ibu Sugiono pemilik rumah. Tak banyak pula yang aku dapat keterangan dari Ibu Sugiono baik maksud dan tujuan Mbah Fanani memilih bertapa di depan rumahnya tersebut.
Yang pasti selain para pengunjung luar kota juga yang kebetulan melintas kemudian memberikan makan dan air mineral di bilik, dalam kesehariannya Pak Sugiono dan keluarga yang menyediakan makanan. Tapi anehnya meski mereka yang paling dekat secara fisik dengan Mbah Fanani juga belum pernah melihat sosok Mbah Fanani keluar dari bilik selama ini.
Padahal dari penuturan Ibu Sugiono keluarganya juga menyediakan/membuatkan khusus kamar kecil tapi hingga saat ini belum pernah digunakan sama sekali. Kesan hati-hati dalam memberikan informasi begitu terasa dari orang-orang sekitar Mbah Fanani bertapa, akhirnya aku putuskan mencari informasi yang cukup jauh jaraknya namun masih diseputar Dataran Tinggi Dieng.
Dari kabar yang berhembus luas dari penduduk setempat, sosok lelaki misterius yang disebut Mbah Fanani ini memiliki pandangan khusus mengenai dataran tinggi Dieng. Sebagaimana tertera dalam ramalan Jayabaya disebutkan wilayah Kedulangmas (Wil. Kedu, Magelang & Banyumas) nantinya akan ditutupi banjir bandang yang besar. Oleh karena itu Mbah Fanani memiliki kayakinan dia tidak akan pulang ke tanah kelahirannya sebelum hal tersebut terjadi di daerah yang dimaksudkan.
Di sini penulis jadi ingat sepanjang jalan dari arah Wonosobo baik bukit maupun gunung seputar dataran tinggi Dieng hampir tidak menemukan hutan atau pohon besar kecuali tanah gunung dan perbukitan yang sudah berubah fungsi menjadi lahan tanaman kentang dan sebagainya. Beralih fungsi bagaimana jika alam menagih janji?
Masih menurut cerita seputar Mbah Fanani dari penduduk setempat. Pernah suatu hari keluarga Mbah Fanani, yang konon dari Kuningan Jawa Barat, datang bermaksud menjemput dan kemudian mengangkat tubuh Mbah Fanani dari dalam bilik ke dalam mobil. Namun anehnya ketika mobil hendak distarter tidak bisa hidup. Atau dengan kata lain Mbah Fanani mengisyaratkan tidak ingin pulang terlebih dahulu.
Ada lagi cerita yang berhembus suatu hari pernah di kawasan jalan Desa Dieng Kulon dan Wetan yang masuk wilayah Wonosobo terendam banjir bandang. Namun anehnya air yang mengalir seperti menjauh dari tempat pertapaan Mbah Fanani. Di luar nalar memang, namun demikianlah cerita dari penduduk setempat yang dekat dengan tempat pertapaan Mbah Fanani. Dan masih banyak lagi cerita-cerita mistis seputar sosok misterius Mbah Fanani yang berkembang di masyarakat.
Yang pasti hanya Tuhan dan Mbah Fanani sendiri yang mengetahui maksud dan tujuan yang tersirat dari beliau melakukan tapa di dataran tinggi Dieng. Wallahu A'lam. (http://wisbenbae.blogspot.com/…/edan-mbah-fanani-bertapa-26…)
2. Mbah Fanani Petapa Dataran Tinggi Dieng
Mbah Fanani merupakan nama julukan yang diberikan kepada masyarakat dataran tinggi Dieng untuk seorang tokoh petapa yang telah lama melakukan petapaan di daerah dataran tinggi Dieng. Dengan wajah putih dan sorot mata yang tajam kehadiran penulis disambut langsung oleh Mbah Fanani di rumah tendanya yang terbuat dari plastik terpal. Walau terlihat ruangan yang begitu sempit dan pengap, namun terpancar sebuah aura positif bening dengan sorot mata yang tajam dari wajah Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.
Suara gemuruh kendaraan bermotor yang lalu lalang di depan tenda Mbah Fanani, dan cuaca cerah disertai udara dingin hingga menembus pori-pori tubuh hingga ke tulang, menghantarkan penulis memasuki ruang tenda dari sebuah pinta kecil yang tertutup rapat. Walau hanya waktu sebentar tidak lebih dari 2 menit pertemuan penulis dengan Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.
Sosok lelaki dengan berambut gimbal yang terurai panjang tebal hingga ke lantai, hanya menggunakan sehelai kain sarung berwarna coklat yang menutupi tubuh, duduk di antara tumpukan kardus itu menerima permintaan penulis untuk bersedia diambil gambar photonya. Hal ini membuat hati penulispun menjadi senang diterima oleh Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.
Sebuah lakon ataupun laku tapa yang dilakukan oleh Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng merupakan salah satu budaya tradisi yang masih dijalankan oleh beberapa orang di belahan dunia ini. Hal ini sebagai jalan dari kepercayaan dan keyakinan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka. Sudah barang tentu mereka yang melakukan tapa memiliki tata cara tersendiri dan niatan yang hanya diketahui oleh dirinya sesuai dengan apa yang telah mereka percayai dan yakini.
Kisah cerita tentang tokoh Petapa Dataran Tinggi Dieng Mbah Fanani banyak kita temukan dalam sebuah tulisan di website blog yang beredar di dalam dunia internet, bahkan ada yang telah terangkat dalam media massa yang beredar di Ibukota. Cerita-cerita tersebut banyak memiliki versi yang berbeda dengan berlatar belakang narasumber yang berbeda-beda, hingga berkembang cerita di tengah-tengah masyarakat dengan versi yang berbeda tentang Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng.
Kehadiran penulis di lokasi tempat petapaan Mbah Fanani di dataran tinggi Dieng hanya bersifat kemanusiaan dan bersilaturahmi dengan memberikan sedikit makanan dan minuman kepada beliau yang sedang melakukan tapa di daerah dataran tinggi Dieng, pada saat penulis melakukan perjalanan wisata di daerah ini.
Menurut cerita dari kerabat penulis yang tinggal di dataran tinggi Dieng, Mbah Fanani telah melakukan petapaan di tiga wilayah Dieng. Beliau berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat. Hal ini diperkuat dengan cerita masyarakat setempat yang mengatakan bahwa keluarga Mbah Fanani yang berasal dari daerah Kuningan, Jawa Barat pernah datang ke lokasi petapaan beliau untuk menjemput beliau pulang ke rumah. Namun, pada saat akan berangkat kendaraan yang ditumpangi Mbah Fanani tidak dapat jalan.
Itulah sekelumit cerita garis besar yang dapat penulis ceritakan dalam artikel ini tentang sosok Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng. Dan dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada tokoh Sang Petapa Dataran Dieng Mbah Fanani dan keluarga besarnya, maka penulis tidak akan mengangkat cerita tentang beliau. Biarlah cerita dan maksud tujuan dari tokoh Mbah Fanani sendirilah yang pada saatnya akan bercerita kepada anak cucuk dan keluarga serta kerabatnya, agar tidak terjadi kesimpangsiuran di tengah-tengah masayrakat. Terlebih cerita yang diangkat akan mengganggu dan merugikan kalangan keluarga.
Semoga gambar photo yang penulis dapatkan dan diijinkan oleh Mbah Fanani Sang Petapa Dataran Tinggi Dieng ini dapat mengobati rasa rindu dan kangen keluarga besar kepada beliau. Bagi rekan-rekan yang akan mengetahui kawasan wisata Dieng Plateau, anda dapat mengunjungi halaman informasi tempat wisata Dienga Plateau dan halaman informasi harga tiket masuk Dieng Plateau. (http://www.ejawantahtour.com/…/mbah-fanani-sang-petapa-data…).
3. Petapa Lembah Dieng
Gus Nanang, putra Kyai Abdul Ghofir Bumen Wonosobo, menyebut Mbah Fanani masih keluarga dari istrinya Sayyid Hasan Al Ba'bud (Wan Hasan Bulus Purworejo). Istrinya Wan Hasan masih dari garis keturusan Syarifah. Artinya Mbah Kyai Fanani merupakan seorang sayyid dan atau habib. Dulu pernah dibujuk untuk kembali ke Cirebon oleh istri dan keluarganya. Namun Mbah Kyai Fanani menolak tanpa alasan.
Kemudian merebak sebuah mitos di masyarakat Wonosobo terkait alasan penolakan tersebut. Pertama, dikarenakan tempat paling tinggi dan strategis di Jawa Tengah adalah Wonosobo sehingga untuk melakukan 'uzlah dan riyadhah menjadi lebih khikmat tanpa adanya gangguan. Kedua, Mbah Kyai Fanani hanya akan pulang (atau turun) apabila Wonosobo sudah menjadi lautan.
Dulu Mbah Kyai Fanani mampu berinteraksi lisan dengan para pengunjung yang sowan dengannya. Namun sekarang tidak mau mengeluarkan sepatah katapun, bahkan untuk menganggukkan kepalanya saja jarang. Menurut penuturan juru kuncinya, "ketika hendak berinteraksi dengan Mbah Kyai tidak usah bersuara, cukup dengan menyebutkan di dalam hati saja. Mbah Kyai sudah mengetahui maksud dan tujuannya. Dan niat yang disebutkan dalam hati diusahakan yang baik-baik saja."
Mbah Kyai Fanani sendiri datang ke Wonosobo pada tahun 70-80an. Beliau pertamakali tiba di Wonosobo langsung menuju sebuah desa yang tepat di lereng gunung. Desa Tieng, menjadi tempat beliau sampai akhir tahun 2011. Tempat tinggal beliau di sebuah Goa, tepat di ujung desa Tieng.
Desa Tieng dilanda bencana tanah longsor yang dahsyat, sebagian warganya bahkan menjadi korban. Kabar berita duka tersebut sebenarnya sudah diberitahu oleh Mbah Fanani sehari sebelum kejadian. Mbah Kyai berbicara kepada salah satu masyarakat Tieng: "Besok sore akan terjadi bencana longsor di sekitar sini." Namun orang tersebut menghiraukan imbauan itu, bahkan Mbah Fanani sampai diusir dari tempat tersebut. Alasannya karena beliau dianggap mengada-ada.
Akhirnya Mbah Fanani pindah ke dataran yang lebih tinggi, yaitu desa Dieng. Tempat yang pada abad ke 7-9 menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram Kuno. Dieng disebut sebagai Pingkalingganing Buwana (Poros Dunia), tempat dimana para kaum Brahmin dari India datang untuk bersemedi, bersatu dengan alam, sampai tempat untuk Moksa (kelepasan duniawi). Mbah Kyai Fanani, sebagai simbol orang suci yang mempunyai ketajaman hati dan pikiran. Manunggal dengan alam semesta, mengabdi pada yang kuasa, dengan meninggalkan berbagai macam kehidupan dunia yang menipu. Waallhu a'lam. (Fb: Agus Munir Mohammed).
4. Misteri Mbah Fanani Yang Bertapa 25 Tahun di Daerah Dieng
Rambut lelaki dengan wajah putih bersih itu gimbal. Bagian depan rambut menutupi wajahnya yang tampan. Sorot matanya bening memandang penuh tenang. Hidung lelaki berkumis tebal itu memang mancung. Ia hanya berselimut sarung duduk di antara dua drum. Itu sebagai penyangga kayu penahan layar rangkap dua dengan pintu dari plastik tempat ia bertapa.
Di bagian belakang gubug kecil itu dipasang triplek. Setiap kali layar atap itu mulai menua dan lusuh maka akan diganti oleh pak Sugiyono yang kebetulan rumahnya persis di depan tempat Mbah Fanani bertapa. Ketika kami mencoba membuka pintu plastik tempatnya bertapa dan menyapanya dengan salam ia diam seribu bahasa.
“Assalamualaikum Mbah,” kata kami kepadanya. Ia hanya diam saja. Mata memandang ke bawah dan hanya melumatkan bibirnya.
Dalam suasana penuh tanda tanya itu angin dingin yang berhembus bersahut kencang dengan raungan bunyi mesin-mesin di pinggir jalan tak kuhiraukan. Tampak di bawah pintu itu dua gelas bekas minuman air putih dan teh serta dua mangkok bekas bakso dan mie. Di dalam ruangan tersebut terlihat pengap. Namun kondisi tersebut tak dihiraukan oleh Mbah Fanani. Meski tampak lusuh, ada aura positif yang terpancar dari badannya. Ia hanya melumatkan kedua bibirnya yang tampak merah.
Menurut Pak Ono, Mbah Fanani bertapa di tepi jalan kawasan RT 1 RW 1 depan musala Al-Amin itu sudah 20 tahun. Setiap pagi ia mengaku memberinya makan mie goreng dan malam harinya kadang ada yang memberi nasi goreng lengkap dengan minuman teh hangat dan air putih. “Barusan saya mengganti layar atap tempatnya bertapa. Ia tidak mau diberi pakaian bagus dan sandal jepit. Tiap bulan sekali keluarganya dari Kuningan Jawa Barat selalu menengok perkembangan dia,” katanya.
Lain halnya dengan penuturan Susliono. Lelaki berusia 35 tahun yang berjualan bakso dekat tempat Mbah Fanani bertapa tersebut mengaku tiap siang selalu memberikan bakso. Ia menyadari tak tahu kapan Mbah Fanani keluar dari tempat tersebut untuk sekedar buang air besar dan air kencing. Itu terjadi bagi semua warga Wonosobo yang dulu pernah memenangi saat dia bertapa di Desa Tieng Kecamatan Kejajar. “Ia tapa bisu. Saya hanya ingin berbagi dengan sesama dan Alhamdulillah rejeki lancar,” kata warga Garung Wonosobo yang bolak-balik tiap hari untuk berjualan bakso tersebut.
Meski terjadi hujan deras dan panas, Mbah Fanani tak pernah beranjak dari tempat duduknya. Ia tetap diam di dalam bangunan kecil di pinggir jalan tersebut. Keadaaan lelaki yang tak pernah diketahui pernah mandi di Desa tersebut tak pernah membuat masyarakat merasa terganggu. Sebaliknya masyarakat sepertinya sudah terbiasa dengan sikap aneh yang muncul dari dalam diri Mbah Fanani. “Jika sewaktu-waktu keluar diberi bakso, tangannya juga mau menerima meski dia bergerak dari tempat satu dengan yang lain dengan merangkak. Alhamdulillah bakso saya selalu habis,” ujar si penjual bakso.
Susliono mengaku pernah diajak berbicara dengan Mbah Fanani dalam bahasa Indonesia. Suatu malam Mbah Fanani mengaku pernah diusir oleh seorang putri agar pergi dari tempat tersebut. "Akibatnya ia merangkak cepat sekitar 500 meter sampai pos polisi di Desa Dieng Kulon ini,” paparnya.
Kejadian lain, banyak orang dari Kudus, Banjarnegara yang berbondong-bondong ke tempat pertapaan Mbah Fanani. Mereka membawa beberapa botol air mineral. Botol air itu diletakkan di tempat Mbah Fanani bertapa. Setelah seperempat jam dengan doa penuh keyakinan mereka lalu meninggalkan tempat Mbah Fanani,” paparnya.
Ketika keluarganya dari Kuningan bertandang ke tempat ia bertapa, Mbah Fanani tetap tak mau diajak berbicara. Kendati ditawari untuk berganti pakaian ia tetap menolak mengenekannya. "Mbah Fanani sepertinya lebih nyaman hidup tanpa mengenakan pakaian bagus. Ia bilang bahwa laku yang ia perbuat itu karena dulu kakekknya pernah bertapa selama tiga tahun di kawah Sikidang dan Sumur Jolotundo objek wisata Dieng wilayah Kabupaten Wonosobo,” tandasnya.
Dari informasi yang dihimpun dan berhembus luas di tengah masyarakat Wonosobo, lelaki misterius yang diduga memiliki nilai mistis ini memiliki pandangan tersendiri dengan dataran tinggi Wonosobo. Sebagaimana tertera dalam ramalam Jayabaya wilayah Kedulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas) nantinya akan ditutupi dengan banjir bandang. Karena itu mbah Fanani memiliki pandangan bahwa dia tidak akan kembali ke tanah kelahirannya sebelum kejadian tersebut terjadi di wilayah Wonosobo. “Mbah Fanani berkata dia akan kembali ke rumahnya di Kunginan Jawa Barat dengan naik perahu,” kata Budiyanto warga Wonosobo.
Atas dasar pemahaman itulah lelaki yang disebut-sebut sebagai manusia aneh dan langka di zaman modern saat ini terus duduk diam di dataran tinggi Dieng. Meski sebagian besar masyarakat di lokasi tersebut mengenakan kaos kaki dan kaos tangan serta baju serta celana panjang namun Mbah Fanani memilih telanjang dada. Hanya kain sarung saja yang menempel di bagian tubuhnya. Ia merasa damai dengan kondisi tersebut lantaran memiliki pandangan lain pada umumnya yang terjadi atas berbagai konstruksi agama, budaya dan keyakinan yang terjadi di tengah masyarakat umum.